Beranda | Artikel
Hukum Nikah dengan Niat Talak
3 hari lalu

Pernikahan dalam Islam memiliki tujuan mulia, yaitu membangun rumah tangga yang penuh kasih sayang, memperoleh keturunan yang baik, dan menciptakan kehidupan yang harmonis. Namun, ada praktik pernikahan yang mengandung niat tersembunyi untuk menjatuhkan talak setelah tujuan sementara tercapai, yang menimbulkan pertanyaan tentang keabsahannya dalam pandangan syariat.

Artikel ini akan membahas hukum pernikahan dengan niat talak. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin.

Pengertian “nikah dengan niat talak”

Nikah dengan niat talak, yaitu

هو أن يتزوج الرجل المرأة وفي نيته طلاقها بعد انتهاء دراسته أو إقامته أو حاجته.

Seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan niat untuk menceraikannya setelah studinya selesai, masa tinggalnya berakhir, atau kebutuhannya terpenuhi.” [1]

Dengan istilah lain, “nikah dengan niat talak” merupakan pernikahan yang telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya, namun suami dalam hatinya berniat untuk menceraikan istrinya setelah jangka waktu tertentu, baik itu waktu yang jelas, seperti sepuluh hari, atau waktu yang tidak jelas, seperti mengaitkan pernikahan dengan selesainya studi atau tercapainya tujuan yang menjadi alasan ia menikah. [2] Adapun istri, wali, dan keluarga istri tidak mengetahui adanya niat dari suami tersebut, karena memang tidak diucapkan secara langsung (hanya diniatkan dalam hati).

Perbedaan antara nikah mut’ah dan “nikah dengan niat talak”

Nikah mut’ah adalah pernikahan di mana seorang laki-laki menikahi perempuan dengan jangka waktu tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, di mana pernikahan tersebut berakhir ketika waktu yang disepakati itu selesai, sebagaimana diketahui.

Allah telah mengharamkan nikah mut’ah secara mutlak hingga hari kiamat menurut kesepakatan ahli sunah waljamaah, karena bertentangan dengan tujuan syariat Islam dalam pensyariatan pernikahan. [3]

Oleh karena itu, nikah mut’ah berbeda dengan “nikah dengan niat talak”. Di antara perbedaan tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:

Pertama: Nikah mut’ah dilakukan dengan kesepakatan antara kedua pasangan (dengan asumsi keduanya layak disebut pasangan) atas jangka waktu pernikahan, dan perpisahan terjadi segera setelah waktu tersebut berakhir.
Nikah dengan niat talak, di sisi lain, tidak melibatkan perpisahan, kecuali dengan talak yang nyata dari suami dan harus diikuti dengan masa idah yang wajib.

Kedua: Dalam nikah mut’ah, perempuan hanya berhak menerima upah (yang disebut sebagai mahar).
Sedangkan dalam nikah dengan niat talak, perempuan tetap memiliki hak atas warisan, nafkah selama masa idah, dan seluruh hak-hak istri lainnya terhadap suaminya.

Ketiga: Masa idah bagi perempuan yang diceraikan dalam nikah dengan niat talak sama dengan masa idah perempuan lain yang diceraikan. Sedangkan dalam nikah mut’ah, perempuan menjalani masa idah yang berbeda dari masa idah perempuan yang ditalak atau ditinggal wafat oleh suaminya.

Keempat: Nikah dengan niat talak bisa berlanjut dan berkesinambungan jika suami mengubah niatnya untuk tidak menceraikan istrinya. Sebaliknya, dalam nikah mut’ah, suami tidak memiliki hak untuk melanjutkan pernikahan dengan istrinya setelah waktu yang telah disepakati berakhir, dan perpisahan wajib dilakukan segera. [4]

Baca juga: Hadis: Hukum Nikah Mut’ah (Bag. 1)

Perbedaan pendapat ulama dalam hukum “nikah dengan niat talak”

Terdapat dua pendapat utama [5] mengenai hukum nikah dengan niat talak:

Pendapat pertama: Ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i serta sebagian ulama Hanbali berpendapat bahwa nikah dengan niat talak adalah sah.

Dalil utama dari pendapat ini adalah karena akad nikah tersebut tidak mengandung unsur yang membatalkan, sebab penentuan waktu yang merusak akad hanya dianggap sah jika benar-benar dinyatakan dengan lisan, bukan hanya dengan niat semata. Adakalanya seorang laki-laki berniat, namun tidak melaksanakan niat tersebut, atau melaksanakan sesuatu yang tidak diniatkannya.

Pendapat kedua: Pendapat yang sahih dari mazhab Hanbali menyatakan bahwa nikah dengan niat talak tidak sah, karena dianggap sebagai salah satu bentuk nikah mut’ah. Pendapat ini juga dianut oleh sebagian ulama Maliki, terutama jika perempuan atau walinya memahami maksud niat tersebut. Pendapat ini juga dipilih oleh Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi. [6]

Kemudian, para ulama yang menganggap sah nikah tersebut (pendapat pertama), mereka berbeda pendapat, apakah hukumnya makruh (dibenci atau haram), atau tidak. [7]

Pendapat yang lebih kuat dalam hukum “nikah dengan niat talak”

Walaupun ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah dengan niat talak (sebagian membolehkannya tanpa makruh, sebagian membolehkan dengan makruh, dan sebagian lagi mengharamkan serta membatalkannya), mereka memiliki dalil masing-masing. Namun, Allah Ta’ala memerintahkan agar segala perselisihan dan perbedaan dikembalikan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman-Nya,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Maka, jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)

Untuk mengetahui hukum syariah tentang nikah dengan niat talak, kita harus memahami tujuan syariah dalam mensyariatkan pernikahan. Jika pernikahan tersebut sesuai dengan tujuan tersebut, maka ia dianggap sah menurut syariat. Selain itu, kita juga perlu melihat apakah ada mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan dari pernikahan tersebut.

Tujuan syariah dalam pernikahan

Ketika kita merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memahami tujuan syariah dalam pernikahan, kita mendapati bahwa pernikahan disyariatkan dengan tujuan-tujuan yang sangat agung dan mulia, di antaranya:

Mendapatkan ketenangan

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)

Yang dimaksud dengan ketenangan di sini adalah ketenangan yang sempurna antara suami dan istri, mencakup ketenangan hati, tubuh, pancaindra, serta pikiran bagi keduanya.

Keberlangsungan dan kelestarian pernikahan

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)

Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan dari pergaulan yang baik antara suami dan istri adalah terciptanya kasih sayang dan rahmat yang terus-menerus. Allah mendorong para suami untuk mempertahankan pernikahan mereka.

Memperoleh keturunan dan memperbanyak umat

Allah Ta’ala berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu terhadap istrimu. Karena itu, Allah mengampuni kamu dan menerima tobatmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ

“Menikahlah dengan wanita yang penyayang dan subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan jumlah kalian yang banyak di hadapan umat-umat lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050. Dinilai hasan sahih oleh Al-Albani) [8]

Beberapa kerusakan dari “nikah dengan niat talak”

Berikut adalah beberapa kerusakan yang tampak dari pernikahan dengan niat talak:

Kezaliman terhadap wanita

Ini merupakan bentuk ketidakadilan, pengkhianatan, dan tipu daya. Pria yang melakukan pernikahan seperti ini tentu tidak akan mengizinkan hal serupa terjadi pada putrinya atau keluarganya sendiri; lalu mengapa dia merasa hal ini pantas untuk dilakukan pada orang lain?

Kehilangan anak

Dalam banyak kasus, anak mungkin tidak bisa dibawa ke negara asal ayahnya karena adanya peraturan atau undang-undang yang melarang hal tersebut, atau karena ketidakmampuan untuk membesarkan mereka.

Perpindahan dan ketidakjelasan nasab

Dengan banyaknya pernikahan seperti ini, mudah bagi pria untuk tidak mematuhi hukum syariah, sehingga menyebabkan nasab menjadi tidak jelas atau bahkan hilang.

Menjerumuskan wanita dalam keadaan sulit

Banyak wanita yang terperangkap dalam pernikahan seperti ini, diceraikan dengan cara yang buruk, yang pada akhirnya menempatkan mereka dalam bahaya terjerumus pada perbuatan dosa.

Pencemaran citra Islam

Mengizinkan pernikahan seperti ini merusak citra Islam, menimbulkan kebencian terhadap agama, dan menyebabkan banyak wanita yang baru memeluk Islam atau yang berada di negara-negara Barat berpaling dari Islam setelah diceraikan oleh suami mereka.

Mengabaikan kualitas istri

Banyak pria yang menikah dengan niat talak tidak peduli dengan kesalehan, latar belakang keluarga, atau sifat-sifat baik calon istrinya. Mereka hanya fokus pada pernikahan jangka pendek.

Menghambat wanita dari pernikahan yang mulia

Pria mungkin enggan menikahi wanita yang lebih mulia di matanya karena niat menceraikannya, sehingga ia memilih wanita yang menurutnya lebih rendah untuk menghindari masalah sosial atau biaya yang tinggi.

Kerusakan-kerusakan ini, serta yang lainnya, tidak pantas dan tidak diterima oleh akal sehat, apalagi oleh syariat Allah yang bijaksana. [9]

Pendapat yang rajih (lebih kuat) tentang hukum “nikah dengan niat talak”

Berdasarkan poin-poin di atas, maka yang rajih dalam permasalahan ini adalah pendapat yang menyatakan ketidakabsahan nikah dengan niat talak. Wallaahu a’lam.

Pendapat ini, sebagaimana telah disampaikan di atas, merupakan pendapat yang sahih dari mazhab Hanbali dan sebagian ulama mazhab Maliki. Selain itu, pendapat ini juga yang di-rajih-kan oleh Lajnah Daimah (Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi), dan selain mereka.

Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Manshur rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau yang khusus membahas pemasalahan ini,

أن الزواج بنية الطلاق ليس شرعيًا، لذا فهو حرام لا يحل، وإذا كان كذلك، فهو باطل.

Sesungguhnya nikah dengan niat talak tidak syar’i. Oleh karena itu, hukumnya haram dan tidak diperbolehkan. Jika demikian, pernikahan tersebut dianggap batal (tidak sah).[10]

Jawaban atas dalil-dalil yang membolehkan “nikah dengan niat talak”

Sebagaimana telah disampaikan di atas, dalil para ulama yang menganggap sah nikah dengan niat talak berporos pada dua dalil utama, yaitu: (1) pernikahan dilakukan sesuai dengan bentuknya yang sah tanpa syarat tertentu, seperti syarat waktu (seperti dalam nikah mut’ah) atau syarat talak (seperti dalam nikah tahlil), atau syarat-syarat lainnya; dan (2) kekhawatiran akan terjerumus dalam zina.

Jawaban atas dalil pertama

Ada perbedaan yang sangat besar dan mencolok antara kedua jenis pernikahan tersebut, sebagaimana perbedaan antara langit dan bumi. Niat orang yang menikah secara syar’i berbeda dengan niat orang yang menikah dengan niat talak. Orang pertama menikah dengan niat yang disyariatkan oleh Allah, di mana Allah menetapkan talak sebagai jalan keluar dari pernikahan apabila terjadi sesuatu yang membuat sulit atau mustahilnya melanjutkan kehidupan rumah tangga.

Sedangkan, dalam pernikahan dengan niat talak, orang yang menikah sudah berniat dan bertekad sejak awal untuk menceraikan pasangannya setelah tujuannya tercapai, karena ia hanya menikah untuk memenuhi keinginan sementara.

Jawaban atas dalil kedua

Kekhawatiran terjerumus dalam zina hanyalah dugaan belaka, dan ini merupakan kerusakan kecil. Namun, jika pernikahan dengan niat talak dibolehkan, akan muncul kerusakan yang jauh lebih besar, termasuk terjadinya zina dan bahkan murtad. Apakah kita akan membolehkan pernikahan ini hanya demi mencegah satu individu terjerumus dalam zina, sementara di sisi lain, banyak kerusakan besar yang akan terjadi akibat perilaku yang tidak bertanggung jawab seperti ini? [11]

Kesimpulan

Pernikahan dengan niat talak, tidak sesuai dengan tujuan utama syariat Islam yang mengutamakan keberlangsungan dan kelestarian pernikahan. Meskipun ada ulama yang membolehkannya, banyak dari mereka menilai praktik ini mengandung banyak bahaya, termasuk ketidakjujuran dan potensi ketidakadilan terhadap pasangan, serta kerusakan sosial yang lebih luas. Pendapat yang lebih kuat, hukum nikah ini adalah tidak sah.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk berpegang teguh dengan syariat yang mulai ini, amin.

Baca juga: Hadis: Hukum Nikah Tahlil (Bag. 1)

***

Rumdin PPIA Sragen, 16 Rabii’ Al-Akhir 1446

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab


Artikel asli: https://muslim.or.id/99488-hukum-nikah-dengan-niat-talak.html